Mengenang Masmimar Mangiang, Wartawan dan Guru Jurnalistik

“SAYA tidak tahu, apakah saya sekarang menunggu kesembuhan atau hanya sekadar melakukan penyesuaian dengan keadaan sehat dan ketidak-sehatan pada usia 70 tahun …

sebelum semuanya sampai di titik akhir.” (Masmimar Mangiang, status di laman Facebook, 2 Mei 2020.) Dunia jurnalistik Indonesia kembali kehilangan guru dan praktisi bahasa jurnalistik sepanjang hayatnya, Masmimar Mangiang. Meninggal dunia 29 Juni 2020 di Jakarta dan esoknya dimakamkan di TPU Pondok Kelapa Duren Sawit, Jakarta Timur.

Innalillahi wainnailaihi rajiun… Bahkan, kepergian karena penyakitnya, dituliskan sastrawi di laman media sosialnya: “penyesuaian dengan keadaan sehat dan ketidak-sehatan”. Frasa yang indah. Masmimar Mangiang, lahir di Limbanang, Suliki, Lima Puluh Kota, Payakumbuh, 10 September 1949 adalah seorang wartawan dan pakar bahasa jurnalistik Indonesia. Pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, namun tampaknya asal suku dan bakatnya berbahasa berkait-kelindan dalam dirinya. Bayangkan, bagaimana mungkin ia bisa menekuni dua profesi sekaligus, wartawan dan guru jurnalistik, tanpa ia mencintai Bahasa Indonesia.

Sebagai wartawan, Masmimar pernah menjadi pemimpin redaksi harian ekonomi Neraca. Sebelumnya, seperti ditulis oleh Hasril Chaniago (2018) dalam 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong, ia juga pernah jadi wartawan untuk beberapa media, di antaranya majalah Tempo, harian Kami, harian Pedoman, jurnal Prisma, majalah Fokus, dan lain-lain. Masmimar Mangiang juga telah menulis dan menyunting banyak buku sejak 1972. Karyanya antara lain Lukman Harun dalam Lintasan Sejarah dan Politik, diterbitkan oleh (Yayasan Lukman Harun, 2000). Tulisan amat pendek ini tentu saja tak mungkin menceritakan sosok guru teladan ini dengan lengkap. Tetapi, sebagai murid yang kemudian profesinya penulis buku, almarhum ikut andil membentuk gaya menulis dan gaya bahasa jurnalistik saya. Itulah mengapa saya ingin mengambil satu saja sudut hidupnya yang menarik dan layak dicontoh siapapun, terutama anak muda. Yaitu, terus mengajar sampai akhir hayat.

Almarhum Bang Mimar meninggalkan contoh tentang integritas. Memilih kerja dalam kehidupan untuk sekali saja, dan kemurnian ketulusannya dijaga hingga akhir hayat. Pekerjaannya sebagai wartawan dibarengi dengan niatnya untuk berbagi ilmu sebanyak-banyaknya dan sepanjang hayatnya lewat lembaga pendidikan. Ada dua yang melekat pada perjalanan hidupnya. Pertama, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, kemudian berkembang menjadi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI; dan kedua, Lembaga Pendidikan Pers Dr Soetomo (LPDS).

Untuk saya, yang menjadi muridnya pada 1989-1995, beliaulah guru teladan menulis indah, akurat dan cerdas. Bang Mimar juga salah satu pelopor koran laboratorium sekolah kami, koran Komma, kependekan dari Komunikasi Massa. Jelas, ia guru juga bagi ratusan seusia dan juga di bawah usia saya yang kemudian memilih berkarier di dunia pers dan tulis-menulis. Ia hadir bersama guru-guru saya di Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP UI, masa itu yang wartawan senior Indonesia sekaligus dosen. Selain Bang Mimar yang waktu itu pemimpin redaksi harian ekonomi Neraca, ada nama kondang wartawan seperti almarhum D.H. Assegaff, almarhum Aristides Katoppo, Zulhasril Nasir, Ina Ratna Mariani, dan Pope Pius. Lama sekali tak jumpa lagi dengan almarhum setelah saya lulus, Bang Mimar salah satu yang ditunjuk untuk membahas buku yang saya sunting-tulis Zaman Keemasan Soeharto, Kumpulan Tajuk D.H. Assegaff  (Penerbit Buku Kompas, 2013).

Perhelatan pada 12 Desember 2013 itu dibuat kampus saya untuk mengisi peringatan ulang tahun ke-54 Jurusan (sekarang Departemen) Ilmu Komunikasi, FISIP UI. Saya hanya ingat, bangga, bagaimanapun buku itu menyatukan kami, almamater dan para dosennya. Saya akhirnya menjadi sering bolak-balik ke kampus dan bertemu para guru saya. Kalau tidak untuk mengajar tamu, hanya membuat janji ketemu sekadar duduk di kafe. Pensiun pada usia 70 tahun “Sekarang, jurnalisme seharusnya menjelaskan, bukan cuma mengabarkan,” kata Bang Mimar pada acara lepas kangen jelang pensiunnya, “Lepas Kangen Bang Mimar, Tanda Cinta dari Alumni Komunikasi UI”, di kampus tempat ia mengabdi, 23 Februari 2019. Saya hadir di antara puluhan perwakilan muridnya. Ia seperti mau menyentil siapa saja yang masih jadi wartawan aktif saat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *